Unordered List


Perinsip Dalam Mengolah Perbankan





Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).

  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya.
Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” 
4 (empat) Prinsip dalam Mengelola Perbankan
Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).
  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya. 

Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin terjadi dalam penyimpanan dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut termuat tegas dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”   
 
Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)
 
Prinsip kerahasiaan bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan karena hal tersebut adalah jiwa dari industri perbankan. Tujuan utama bank menerpakan prinsip kehati-hatian adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang disimpannya tersebut. 

Secara normatif prinsip ini diakomodir dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yakni: “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpannanya, kecuali dalam hal sebagaiana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A” Pasal 40 tersebut mengandung unsur subyektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan oleh bank, dan unsur obyektif yakni simpanan nasabah. 

Menurut Nindyo Pramono, terdapat inkosistensi antara Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 40. Pasal 42 berisikan bahwa: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.” 

Pasal 40 menentukan bahwa yang wajib dirahasiakan adalah nasabah dan simpanannya. Mengapa dibedakan antara nasabah (subjek) dan simpananya (objek)? Pasal 42 mengatur bahwa yang boleh diinformasikan adalah objeknya. Akan menjadi pertanyaan, mungkinkan menginformasikan simpanan (objek) tanpa implisit termasuk menginformasikan keterangan tentang diri nasabah (subjek). 

Permasalahan ke-2 (dua) adalah apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nsabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan sehingga perlu mengingat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena berdasarkan Pasal 42 yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa sedangkan keterangan mengenai nsabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu.  

Di Inggris, dalam Tournier’ Case (Tournier v National Provincial and Union Bank of England) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nsabah hanya dalam 4 (empat) keadaan saja, yakni[1]:
Pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, diatur dalam undang-undang;
    1. Apabila bank memutuskan merasa berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat demi kepentingan umum;
    2. Jika pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank;
    3. Jika nasabah memberikan persetujuannya.
     
Dalam perkembangannya di Indonesia, ketentuan rahasia bank diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/PBI/2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 

Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)
 
Dalam UU Perbankan tidak disebutkan dengan jelas pengeritan dari prinsip kehati-hatian. Pasal 2 UU Perbankan hanya menyebutkan bahwa: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.” Menurut Black’s Law Dictionary, 2001 menyebutkan bahwa “Prudence is carefullness, precaution attentiveness and good judgement, as applied to action or conduct, that degree of care required by the exigencies or circumstances under which it is to be exercised.”

Pada pasal 16 sampai dengan Pasal 28 UU Perbankan yang bersangkutan dengan substansi yang berkaitan dengan masalah yang mengatur perizinan, bentuk hukum, dan kepemilikan bank ditentukan bahwa dalam pendirian bank harus diatur secara tegas mengenai kepemilikan bank mengingat bisnis perbankan adalah bisnis yang mengedepankan kepercayaan. Oleh karena itu dalam persyaratan pendirian bank, pihak-pihak yang pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dilarang mendirikan atau turut mendirikan bank. Hal tersebut diatur dalam SKBI Nomor 27/118/KEP/DIR dan SEBI Nomor 274/4/UPPB tanggal 25 Januari 1995 yang mengatur tentang orang-orang yang digolongkan dalam daftar orang tercela (TOT), yakni: 
  1. Penggelapan atau manipulasi yang merugikan bank;
  2. Kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan bank;
  3. Transaksi fiktif, baik yang dilakukan pada sisi aktiva ataupun pasiva;
  4. Perselisihan intern yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan;
  5. Manipulasi dalam pembukuan atau pelaporan bank;
  6. Kerja sama yang tidak wajar sehingga salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri.
Prinsip Know Your Customer
 
Prinsip Know Your Customer selanjutnya akan disebut KYC adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mencermati dan mengetahui identitas nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan jika terdapat transaksi yang diduga mencurigakan.[2] Tujuan penerapan KYC adalah untuk mengenal profil dan karakter transaksi nasabah sehingga secara dini bank dapat mengidentifikasikan transaksi yang diduga mencurigakan tersebut, untuk meminimalisasi operational risk, legal risk, concentration risk, dan reputational risk. 

Menurut R. Maulana Ibrahim[3] prinsip KYC yang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan risiko perbankan yang terkait dengan penilaian masyarakat, nasabah atau mitra transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yakni risiko, risiko operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi.
 Berdasarkan Basel Committe on Bamking Supervision Consultative Document: Customer Due Diligence for Banks, disebutkan bahwa saat ini pengawas bank di hampir seluruh dunia menyadari pentingnya due diligence terhadap nasabah baru, dan nasabah yang telah ada pada banknya agar terhindar dari tindak kejahatan. Oleh karena itu, Basel Commitee telah mengembangkan rekomendasi yang memberikan basic framework untuk bank.  

Dasar hukum prinsip KYC ini dituangkan oleh Bank Indonesia dalam PBI 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas PBI Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Kemudian, Bank Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5/32/DPNP kepada semua bank umum di Indonesia perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/29/DPNP perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, selanjutnya disebut SEBI Nomor 5 Tahun 2003.
  


Posting Komentar

0 Komentar